CH (123): Mencermati Kontrak Politik YARIS

Ada semacam “ketakutan” yang aku tangkap, ketika mencermati Kontrak Politik (KP) antara Pasangan Calon (Paslon) Walikota dan Wakil Walikota yang maju dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Salatiga 2011 Yulianto dan Muh. Haris (YARIS) dengan Persekutuan Hamba Tuhan Garis Depan Salatiga (PHTGD), baru-baru ini.

KP yang berisi lima poin itu ditandantangani oleh Paslon bernomor urut 3, di atas materai, ikut menandatangani 2 orang saksi, yaitu: (1) Pdt. Yusuf Sunari, S.Th., dan (2) Prof. Dr. H.D. Haryoko RD, Ph.D., AKP. Dalam KP tersebut, YARIS berjanji jika terpilih kelak akan melakukan hal-hal sebagai berikut.

  1. Menjaga Kota Salatiga dalam kemajemukan agama, suku, ras, dan golongan.
  2. Memberikan kebebasan dan rasa aman bagi seluruh umat beragama dan kepercayaan masing-masing.
  3. Memberikan kemudahan bagi umat Kristiani untuk mendirikan tempat ibadah dan diijinkan menggunakan ruang publik untuk perayaan keagamaan.
  4. Bersama-sama masyarakat menumbuhkankembangkan toleransi antar umat beragama di Kota Salatiga.
  5. Tidak ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan publik serta akses terhadap pemanfaatan dana APBD untuk kepentingan seluruh kepentingan umat beragama.

“Ketakutan”

Ya, isi KP menurut saya menyimpan “ketakutan” dari pihak-pihak tertentu. Pertama, ketakutan dari kelompok tertentu (PHTGD), jika YARIS terpilih maka orang-orang tertentu itu takut akan menggalami “hambatan”.

Di sisi lain, YARIS sebenarnya ingin memastikan bahwa mereka tidaklah pasangan yang akan mengganggu kemajemukan dan menghambat pembangunan rumah ibadah, hal ini diperkuat dengan keberanian mereka meneken KP tersebut.

Yang menarik adalah, kenapa sampai ada pikiran terhadap “ketakutan-ketakutan” itu? Apakah karena mereka berada pihak-pihak yang berbeda agama, atau ini hanya murni sebagai bagian dari strategi tim pemenangan YARIS?

Kenapa?

Jika saya diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat terhadap fenomena di atas, maka apa yang terjadi itu merupakan buah dari apa yang terjadi di republik ini. Konflik-konflik kekerasan yang berhubungan dengan suku, ras, golongan, dll, yang terjadi di negeri ini telah mampu membuat kita sebagai bangsa tidak bisa bersandar kepada kekuatan sejarah bangsa, Pancasila, dan konstitusi.

Tentu saya dan anda belum mampu menghilangkan dalam ingatan kita bersama, terhadap penganiyaan warga Ahmadiah di Cikesik, Jawa Barat. Ada juga bom-bom belakangan ini yang dicurigai didalangi oleh kelompok radikal. Masih terasa dalam ingatan kita bersama, kerusuhan Sampit, Poso, Ambon, Papua, dan diberbagai daerah di Indonesia.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut secara tuntas, membuahkan ketidakpercayaan kita sebagai warga negara. Sikap tidak percaya itu, berkembang menjadi sikap saling curiga satu dengan lainnya. Dan ini sungguh sangat disayangkan.

Secara jelas, konstitusi kita, menjunjung tinggi hukum dan penghormatan terhadap pemeluk agama-agama. Sudah lupakah kita tentang hal ini? (sfm).

Baca juga:
CH (111): Gelar “Pemilukada Salatiga” di Satya Wacana
CH (86): “Koran Salatiga”
Catatan Harian (65): Politik Warna Pemilukada Salatiga

One thought on “CH (123): Mencermati Kontrak Politik YARIS

  1. point nomor 3: kemudahan mendirikan gereja.

    Selama SKB 3 menteri belum dicabut. kalau mau mendirikan gereja, harus mendapat persetujuan (kalau gak salah) 60 KK (atau 90 kk ya?) yang beragama lain. Jadi, “kemudahan” yang ditawarkan/dijanjikan paslon tersebut, nggak akan ngefek apa-apa.

    (pengalaman saya, di Jalan Seruni akan didirikan tempat kegiatan Buddha, dulu saya sudah pernah dimintai tandatangan persetujuan, dan kapan itu dimintai lagi, konon, karena perlu diperbaharui lagi persetujuannya, yang dulu tidak berlaku. Saya sih tidak masalah dimintai berapa kali-pun ya akan saya tandatangani, lha wong cuma tandatangan saja, tetapi itu artinya mereka mengurus proses itu khan berulangkali. Itu baru untuk persetujuan “prinsip”, entah nanti untuk IMB, HO (jika perlu) dan sebagainya. Saya pikir tidak begitu mudah.

    Pertanyaan lain: IDE janji tersebut datang dari permintaan PHTGD, atau tawaran Paslon?
    Dan lagi, PHTGD itu dibentuk kapan? (terus terang saya baru tahu setelah baca tulisan di atas). Jangan-jangan dibentuk ‘tiba-tiba’ untuk (merasa) ‘mewakili’ kelompok tertentu.

Leave a comment