CH (244): TAPIS untuk Naikan PAD Salatiga

Berbeda dengan daerah-daerah lain yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, Kota Salatiga minim SDA. Namun hal itu tidak berarti membuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) ikut minim, karena dengan melakukan Metode “TAPIS”, minimnya SDA tidak menjadi masalah.

Bukan seperti Jakarta atau Surabaya, Salatiga bukanlah kota industri. Salatiga juga berbeda dengan kota-kota di Bali, yang merupakan kawasan wisata. Ataupun seperti kota-kota di Indonesia yang dikaruniai dengan kemakmuran SDA, contohnya Martapura, di Kalimantan, yang dikenal dengan penghasil intan.

Kota Salatiga hanyalah kota kecil, yang terletak 49 kilometer sebelah Selatan Kota Provinsi Semarang, dan sekitar 52 kilometer sebelah utara dari Surakarta. Dalam sejarah, Kota Salatiga dijadikan kota peristirahatan bagi tuan dan nona Belanda. Hal itu dikarenakan karena Salatiga berada di ketinggian 750-850 mdpl, sehingga memiliki kesejukan udara yang memikat pendatang Eropa tersebut.

Minimnya SDA membuat Salatiga harus berfikir keras untuk memperoleh PAD secara kreatif dan cerdas, satu yang mungkin dilakukan adalah dengan Metode “TAPIS”, singkatan dari TArikan berlaPIS. Apa itu Tapis? Metode ini saya ketahui ketika saya berkesempatan mengurus kepindahan kependudukan dari Kelurahan Salatiga Kota ke Kelurahan Blotongan, akhir tahun 2011 kemarin.

Mencoba menjadi warga negara yang baik, maka ketika domisili tempat tinggal saya berganti, saya harus mengurus administrasi kepindahan kependudukan. Berbekal surat keterangan dari RT dan RW dari tempat asal, saya menuju Kantor Lurah Salatiga Kota, seorang petugas kelurahan dengan baik menyampaikan kekurangan syarat administrasi yang dibutuhkan. Selain dibutuhkan surat keterangan RT dan RW setempat, rupanya saya perlu menyertakan KTP dan KK asli, lalu foto berwarna, dan pelunasan PBB. Beberapa hari kemudian, dengan syarat lengkap saya kembali ke kantor kelurahan, setelah di cek, permohonan saya diproses.

“ T A P I S ”

Di kelurahan tersebutlah, kali pertama saya mengenal Metode “TAPIS”. Saat kelengkapan diproses, salah satu ibu pegawai negeri sipil kelurahan berkata dari balik kaca layanan, “Mas, biayanya semua 5.000, silahkan dimasukan di kotak”. Saya pun dengan sigap mengambil sejumlah rupiah untuk dimasukandi kotak yang ada. Beberapa warga yang mengurus administrasi kependudukan juga dikenakan TAPIS, namun cukup bervariasi, mungkin tergantung jenis pelayanannya.

Tidak berapa lama, proses administrasi selesai. Saya diminta ibu petugas tersebut ke Kecamatan Sidorejo. Langsung saja, saya bergegas ke Kantor Camat Sidorejo. Tidak membutuhkan waktu lama, kira-kira 15 menit, saya sudah sampai ke sana. Di sana, saya menyodorkan berkas administrasi yang saya dapat kepada petugas pelayanan. Setelah dilihat sebentar, sang petugas menyampaikan bahwa biaya administrasinya sebesar, Rp. 10.000. Sebagai warga negara yang baik, saya pun menyodorkan sejumlah rupiah yang dimintakan, sembari berkata, “Pak, boleh minta tanda terima untuk Rp. 10.000, ini?”. “Untuk apa?”, petugas dengan logo KOPRI di dadanya itu bertanya. Saya pun menjawab untuk keperluan diri sendiri. Petugas tersebut menarik lembaran administrasi saya, lalu membalik dan kemudian menuliskan tanda terima dan lalu dicap menggunakan stempel kecamatan.

Kantor Camat Sidorejo Salatiga

Tidak kurang dari 30 menit menunggu, kelengkapan administrasi saya selesai, rupanya hanya semacam dilegalisir oleh petugas itu. “Mas, anda ke Kantor Lurah Blotongan”. Kembali saya pun bergegas ke Kantor kelurahan Blotongan, untung bertemu dengan seorang teman dalam perjalanan, dan dia bersedia untuk mengantarkan.

Aneh

Namun di Blotongan inilah saya mengalami kebinggungan, kenapa setelah menerima penjelasan dan diberikan formulir untuk diisi, serta diminta untuk menyertakan kelengkapan lain, petugas kelurahan tidak melaksanakan “TAPIS”. Apakah petugas lupa? “Mungkin TAPIS dilakukan setelah selesai,” saya cobauntuk menenangan hati saya sendiri. Namun aneh, setelah beberapa hari kemudian saya membawa kelengkapan administrasi, petugas hanya meminta saya masuk ke ruang Pak Lurah untuk meminta tanda tangan. Sang lurah sangat ramah, lalu menandatangani berkas saya, dan kemudian semua proses selesai. Saya diminta membawa kembali berkas dari kelurahan tersebut ke kecamatan.

Terus terang, saya cukup menyayangkan sikap petugas-petugas di Blotongan yang tidak melakukan “TAPIS”. Padahal di Kelurahan Salatiga dan Kecamatan Sidorejo, dengan sigap melaksanakan “TAPIS”.

Kembali ke kantor kecamatan, saya menyampaikan berkas saya ke petugas, kali ini yang menerima adalah siswi sebuah sekolah menengah atas, mungkin mereka sedang magang di sana. Setelah beberapa saat anak sekolahan itu melihat berkas saya, dia pun berkata bahwa biaya untuk KK dan KTP sebesar Rp. 15.000. Saya pun mengeluarkan 1 lembar Rp. 10.000, dan 1 lembar Rp. 5.000, dan menyodorkan kepadanya, kemudian saya berkata dari balik kaca layanan, “Mbak, saya minta tanda terimanya”. “Si Mbak” tampak kebingungan, kemudian, sejenak masuk kedalam, setelah keluar dia berkata,”ini sudah Mas, ada di atas”. Saya tetap ngotot minta yang ada stempelnya, kemudian dia pun membalik lembar administrasi yang saya terima, dan menuliskan angka Rp. 15.000, lalu di stempel. Saya pun diminta mengambil KTP dan KK seperti dalam tanggal yang telah dituliskan.

Total TAPIS

Jika dijumlah secara keseluruhan, maka untuk membuat 2 KTP dan KK baru, maka akan dikeluarkan dana sebanyak sebagai berikut: (1) Di Kelurahan Salatiga : Rp. 5.000,-; (2) Di Kecamatan : Rp. 10.000 + Rp. 15.000; (3) Di Kelurahan Blotongan: Rp. 0. Maka total semua adalah Rp. 30.000.

Jumlah Rp. 30.000 tampak sedikit jika itu hanya dari saya sendiri, ketika saya mencoba mengalikan dengan angka 50, sebagai representasi warga yang mengurus adminsitrasi serupa dengan saya setiap hari, maka dalam satu hari terkumpul sejumlah Rp. 1.500.000. Kalau sebulan (20 hari), dengan asumsi kerja 5 hari, maka terhimpun dana sebesar Rp. 30.000.000. itu hanya diterima dari 1 kecamatan dan 2 kelurahan. Dengan asumsi yang sama, maka dengan kekuatan 4 kecamatan, dan 22 kelurahan di Kota Salatiga, dana ”TAPIS” yang terhimpun sangatlah besar. Secara kira-kira, bisa lebih dari Rp. 120.000.000,- per bulan (dengan asumsi itu, maka dalam setahun minimal terkumpul 1,440 milyar rupiah). Wow…!

Harapan

Melihat angka yang cukup fantastis tersebut, maka saya berharap agar para petugas baik di kelurahan maupun kecamatan, semakin agresif dalam melakukan “TAPIS”. Jangan seperti di Kelurahan Blotongan, dimana saya tidak serupiah pun dikenakan. Tindakan tersebut, tentu akan berdampak pada total “TAPIS” yang diterima nantinya.

Saya berharap angka 1,440 milyar rupiah pertahun, memang semuannya masuk demi kas PAD Salatiga. Terus terang saja, saya cukup jengkel jika membaca atau mendengar berita-berita di media tentang perilaku korup aparat negara. Saya yakin aparat di lingkungan Pemerintah Kota Salatiga adalah aparat yang baik dan profesional dalam melaksanakan tugasnya. (sfm).

One thought on “CH (244): TAPIS untuk Naikan PAD Salatiga

  1. hehehe, pragmatis.. Tp keren.. Saya sbagai org yg pernah beramal jariyah jg di kelurahan salatiga. Mendukung tulisan njenengan tuk diposting di surat pembaca. lanjutkan om..

Leave a comment